Waktunya Shalat Magrib sudah tiba, seperti biasa Aku segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang hamba. Aku membiarkan jendela kamarku hanya ditutupi gorden tipis yang membuat suasana menjelang malam ini terlihat dari dalam kamar. Cahaya matahari yang mulai meredup membuat kamarku yang gelap terisi cahaya walaupun hanya remang-remang.
Selekas melaksanakan Shalat, jendela tersebut masih dalam keadaan sama, hanya saja aku menyalakan lampu kamar yang watt nya tak seberapa, sehingga kamar ku juga tak begitu terang. Sementara langit diluar mulai menggelap. Aku merasakan ada sesuatu didepan jendela. Seperti ada yang aneh, meskipun Aku tak bisa menyimpulkan bahwa ada seseorang disana. Namun Aku memilih mengabaikan perasaan itu dan menghabiskan waktu antara Magrib dan Isya untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Aku duduk di tempat tidur dengan memangku laptop. Aku melihat jam menunjukkan pukul 18.30. Seseorang masuk kekamarku, ia seorang pria mungkin usianya berkisar 40-an tahun, berkumis, menggunakan pakaian serba putih. Ia seperti orang sedang terburu-buru.
"Mba, ada yang tamu. Mau ketemu mba." Katanya sambil menunduk.
Aku yang heran sekaligus menahan amarah, karena ia mengganggu saat Aku mengerjakan tugas. Sementara, Aku heran karena Aku sama sekali tidak mengenalnya.
"Siapa? Kenapa sih kalau masuk tuh ketok pintu dulu. Aduh ada aja ya yang mau ketemu, ga tau gw lagi ngerjain tugas apa." kataku dengan nada mengomel.
Dia tampak sedikit kaget dengan responku. Entahlah, apakah terlihat tidak sopan, atau semena-mena, yang jelas hari itu aku tidak ingin diganggu oleh mereka. Aku kembali mengerjakan tugas ini. Pria berbaju putih itu juga pergi ntah kemana.
Tanpa disadari ada suara aneh yang seakan berbisik ditelingaku. Aku semakin jengah, seakan mau marah tetapi tak tahu pada siapa, dan Aku kembali teringat pada suatu hal yang berada di luar jendela kamarku. Hanya dalam hitungan detik, ia kini duduk tepat diujung tempat tidurku.
Rambut panjangnya menjuntai panjang, namun sayang karena diluar hujan sepertinya dia kehujanan dan basah kuyup. Wajahnya cukup cantik, meskipun terlihat sangat pucat, seperti orang yang terlalu lama berendam diair. Ia terus memeluk badannya yang terlihat bergetar karena kedinginan. Ia melihat kearahku dengan tatapan nanar, penuh dengan rasa sedih yang tependam. Pada akhirnya, pertahananku runtuh, Ia menubrukku dengan cepat.
"Dingin. . . dingin. . . " Ucapnya. Wanita ini mungkin berusia 20-an tahun. Ia datang dalam keadaan basah kuyup. Hatinya dalam keadaan sedih. Ia menumpang di mobil sepupuku yang baru saja melakukan perjalanan jauh. Tapi, ia tak bicara banyak. Hanya saja pertemuannya denganku, membuat ia seakan merasa hidup. Mungkin sekitar 5 menit ia mendiami badan ini yang Aku rasakan, tubuhku sangat dingin. Bruk. . . tubuhku yang sedari tadi duduk diatas tempat tidur oleng kekiri dimana disana ada laptopku yang baru saja aku gunakan, namun terdistrak karena kehadirannya. Aku sangat khawatir jikalau badan beratku ini menindih laptop yang baru saja ku beli. Dengan sekuat tenaga Aku mulai mengusirnya pergi dari tubuhku.
"Aduh, hampir aja laptop gw rusak!" Kataku dengan nada marah sambil memindahkan laptop ini kelantai.
Seperti biasa rasanya badan ini seperti habis melakukan pekerjaan berat. Pegal-pegal. Aku sampai saat ini masih sering kecolongan dengan keinginan mereka masuk ke tubuhku. Aku tau ia masih berada disekitar sini, tapi aku tidak tau pasti dimana ia berada. Karena sudah kepalang tanggung, Aku menyuruhnya kembali duduk ditempat tidurku dan menceritakan APA YANG IA INGIN SAMPAIKAN?
Namaku Arin, tetapi karena lidahku kelu untuk menyebut huruf R, terdengar seperti Alin. Usiaku 21 tahun. Aku mengenakan dress putih, tapi Aku bukan kuntilanak. Aku datang kekota untuk mencari pekerjaan. Asalku dari Jawa Tengah. Sebelum pergi ke kota, ibuku sebenarnya kurang menyetujui kepergianku. Tetapi, Aku sangat ingin memperbaiki masa depanku dengan mencari pekerjaan di kota.
Sesampainya dikota, Aku sangat senang, mendapatkan pekerjaan yang cukup untuk menghidupi Aku dan mengirim uang pada Ibu di kampung. Namun, itu tidak bertahan lama. Aku yang awalnya sering berkirim surat, menelpon Ibu, dan mengirim sedikit gajiku padanya, mulai jarang aku lakukan. Aku seakan tersita pada keinginan dan ke egoisanku, yang sedang di landa asmara.
Seorang pria yang Aku kenal saat Aku dan dia berada di kantor yang sama. Aku dan dia menjalin asmara. Awalnya Ia sangat baik padaku, mungkin untuknya Aku adalah gadis dari desa yang bisa dikelabui. Aku tidak paham terkadang ia bisa sangat romantis, tetapi terkadang ia seakan menganggap Aku musuhnya.
Disuatu malam, ia hendak menginap di kosan ku. Entah mengapa hari itu Aku hanya ingin sendirian. Aku sebenarnya teringat pada Ibu yang sudah jarang Aku kabari. Ada secerca rasa bersalah dihati ini. Namun, melihat respon kekasihku itu, Aku tidak berani menolaknya untuk menginap di kosan ku. Akhirnya, Aku hanya bisa meng-iyakan keinginannya itu.
Dia saat ini dalam keadaan emosi. Ia terlilit hutang yang cukup banyak, dan jelas sudah selama ini Aku juga turut membantunya dalam melunasi hutang-hutang itu. Itulah sebabnya, Aku sudah tidak mengirimi uang ke kampung. Entah bagaimana awalnya, dari perdebatan kecil merembet menjadi perdebatan besar. Ia merasa Aku tidak senang jika dirinya menginap di kosan ku. Ia juga meneriakiku, bahwa Aku perhitungan dengan semua gaji-gajiku yang aku sisihkan untuk melunasi hutang-hutangnya.
Ia meneriakiku dengan umpatan kasar, memukuli ku berkali-kali, dan mencekikku sampai Aku tidak merasakan sakit lagi. Aku pikir ia berhenti mencekikku. Ia masih mencekiknya dengan penuh kemarahan. Sampai ia sadar Aku sudah terkulai lemas dan jantungku sudah tidak berdetak.
Seprei bunga-bunga merah jambu yang Aku beli saat gajian pertamaku, menjadi kain yang membalut tubuhku. Tengah malam yang gelap, betapa beruntungnya kekasihku itu, di sekitar kosanku memang masih dikelilingi rawa-rawa yang tak ada bangunan. Saat itu juga hujan lebat, yang membuat orang-orang tak ada yang keluar dari rumahnya. Ia menyeretku, dan menguburkan Aku. Seakan menghapus segala cerita indah yang pernah kami lalui bersama.
"Begitu mba ceritanya." Katanya masih dalam keadaan murung.
"Lalu kenapa kamu kesini?" Tanyaku.
"Aku ikut mobil mereka (rombongan sepupuku dan teman-temannya), karena ada satu orang yang wajahnya mirip dengan pacarku." Jawabnya yang kini berubah sumbringah.
"Lalu?" Tanyaku datar.
"Aku tetap mencintainya, mba. Walaupun ia sudah membuatku begini." Jawabnya.
"Kenapa kamu masih keliaran?" Tanyaku sedikit ketus.
"Aku masih mencari Ibuku, karena ia belum tau kabarku. Ia pasti mencariku, mba." Jawabnya kini kembali sedih.
"Oh, yasudah, udah kan ceritanya." Jawabku.
"Iya, terimakasih sudah memperbolehkan Aku berteduh." Jawabnya.
"Iya, tapi kamu hampir bikin laptopku rusak." Kataku dengan nada jutek.
"Maaf , mba. Aku hanya ingin bercerita. Aku ga mau merusak itu." Jawabnya sambil menunjuk kearah laptopku.
"Oh ya, Aku mau tanya, kamu takut sama kucing?" Tanyaku.
"Iya, Aku tidak takut, hanya tidak suka pada kucing. Karena mereka selalu mengejar-ngejar Aku." Jawabnya.
Begitulah Aku mengakhiri cerita Arin. Perasaan memang tidak bisa berbohong, meskipun ada rasa benci dihatinya. Namun, ia juga sulit melupakan segala kenangan manis bersama pacarnya yang bajigur. Begitu juga pada ibunya, ada rasa sesal yang tak bisa ia tebus, karena hal-hal yang ia lakukan di masa hidupnya. Aku hampir lupa, sebaiknya mulai saat ini, jika bertemu dengan mereka. Aku harus mendoakan. Agar tidak ada celah jin-jin menyerupai mereka yang berpulang dalam keadaan masih menyimpan luka.
Hampir sedih min, eh knapa ujung ujungnya nanya takut kucing sih. Wkwkwk
BalasHapus