Minggu, 29 Maret 2020

Aku sedang berbaring diatas daun-daun pinus yang gugur. Lihatlah betapa indahnya pohon-pohon pinus yang menutupi teriknya matahari siang ini. Andai saja hutan pinus ini tak sejauh itu, mungkin ketika aku disesakkan oleh urusan dunia yang berisik, aku bisa langsung bergegas kesana untuk menikmati ketenangan dari kesunyian hutan tak berpenghuni tersebut.

Aku mengambil selembar daun kering yang berada disampingku, mengacungkannya ke atas langit, dan melihat betapa indahnya pemandangan langit yang terik samar-samar ditutupi oleh lebatnya daun pinus. Seorang pria menyapaku, hingga membuatku menoleh.
 “Mbak, ngapain disini?”

Ketika Mereka Menyapa

(Ilustration from Pinterest)

Aku memasuki sebuah rumah yang dipenuhi ornament kayu. Aku merasa diluar cukup dingin, sehingga sang pemilik memiliki banyak koleksi selimut tebal di dalam ruangan ini. Rumah ini tidak terlalu besar, terdapat ruangan tengah yang dikelilingi oleh pintu-pintu yang aku pikir itu pasti kamar-kamar dari penghuni rumah tersebut. Srekkk… suara pintu dorong yang terbuka dari salah satu pintu. Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara.

“Selamat datang dirumah kami.” Ucap seorang pria tua yang muncul dari pintu kayu yang baru saja ia buka. Dibelakangnya menyusul seorang wanita tua yang juga melebarkan senyuman terbaiknya. Aku hanya termenung heran, aku tersadar kenapa aku bisa berada disini.

Aku hanya termenung sambil menatap mereka berdua secara bergantian. Sampai sang wanita terlebih dahulu menghampiriku, dan meraih kedua tanganku.
“Kamu mau kan tinggal bersama kami disini?” Tanya wanita itu yang kini mengusap pungguku dengan lembut.

“Kami memiliki banyak selimut yang bisa kamu pakai.” Sang pria tua menyahut sambil membuka lemari-lemari yang aku pikir adalah pintu kamar, lemari yang dipenuhi oleh selimut tebal. 

Aku kembali menatap mereka secara bergantian, lalu beranjak dan menyusuri lemari-lemari yang terbuat dari kayu berwarna coklat muda, yang sepertinya umur lemari ini sangat tua. Memang benar, begitu banyak selimut tebal didalam lemari tersebut. Tetapi, aku sadar ini hanya mimpi.

“Tidak, Aku tidak bisa tinggal disini, aku harus pulang.” Kataku, sambil menatap sang wanita tua yang sedari tadi berdiri memperhatikan langkahku.

Nafasku sesak sekali, aku tidak dapat lari dari mimpi buruk seperti labirin yang menjebakku. Mungkin ini bukan kali pertamaku merasakan sesak setelah mereka menghampiriku melalui mimpi. Bahkan, kali ini terasa sangat menyakitkan, pria tua dan istrinya itu berada didepan tempat tidurku.
Aku bagaikan baru saja melarikan diri dari mimpi buruk tetapi harus menghadapi kenyataan yang juga menakutkan. Pria tua itu memegang kedua kakiku, dan menariknya, seakan ingin membawaku kembali kerumah mereka. Tatapan wanita tua itu tidak kalah menyeramkan. Ia yang didalam mimpiku sepertinya ramah, dengan keahlian marketing mereka merayuku untuk bisa tinggal disana dan menemani mereka. Tetapi, kini mereka seakan menunjukkan sisi menyeramkan mereka yang memelototi aku.

Aku mencoba melawan dengan menggerakan kakiku yang sepertinya hampir patah. Badanku masih terasa kaku. Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan suara. Aku hanya terus melotot menatapi mereka yang tak kalah menyeramkan. Sambil meraih badan mamaku yang tepat disebelahku. Tapi dia sedang tertidur sangat lelap.

“Astagfirullahalazim.” Kataku dengan nafas yang tersenggal-senggal.
Mama tiba-tiba saja terbangun, karena mendengar aku beristigfar cukup keras ditelinganya. “Kenapa?” Kata mama yang langsung membalikkan badan.
“Mah, ada setan, nenek-nenek dan kakek-kakek, kaki aku sampe keram karena ditarik.” Kataku yang mulai berkaca-kaca.

Aku selalu sedih ketika mereka mengganggu aku. Aku pikir, kenapa aku bisa memiliki takdir seburuk ini. Kenapa mereka harus mengganggu aku, bukan oranglain. Bahkan, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak sudah hampir dua tahun. Aku bahkan tidak bisa bercerita pada siapapun mengapa aku sering tertidur dikelas. Aku bahkan tidak pernah memperdulikan mereka yang ingin mengajakku berteman. Seharusnya mereka sudah paham, bahwa aku sangat muak dengan sikap mereka yang kurang ajar mendatangiku saat aku ingin tidur.

Pohon Pinus?
(Ilustration from Pinterest)

Ketika bapak-bapak sang pemanen getah pinus memanggilku, aku hanya teringat pada mereka yang selalu mencoba menyapaku. Mungkin ini terasa tidak normal. Bahkan sampai saat ini aku merasakan itu. Hutan ini bukan hutan biasa. Tetapi, aku tetap harus menjadi normal. Tidak memperdulikan mereka yang sebenarnya tidak pernah terlihat, kecuali oleh orang-orang malang sepertiku.

“Mah, Aku capek, tiap malam diganggu sama mereka.” Kataku pada mama yang sedang membaca buku mengenai kematian Adolf Hitler.
“Kamu mau gimana?” Tanya mama, yang mulai meladeni omonganku dan menutup buku novel tebal tersebut.
“Aku mau di rukiyah.” Kataku.
“Siapa yang bisa merukiyah?” Tanya mama.
“Aku rasa mama bisa. Bukannya kita hanya perlu membacakan ayat-ayat al-quran?” Kataku pada mama.
“Kapan?” Tanya mama padaku.
“Sekarang saja.” Kataku dengan nada sangat bersemangat.

Aku paham betul si nenek tua yang mengikuti saat itu mengetahui rencana ku untuk mengusirnya. Tetapi ia tidak bisa menghentikan langkahku. Karena pikirku, aku bisa melihat semua ini, bisikan ini, karena ia terus mengikuti keseharianku. Mungkin ia memang follower sejatiku melebihi apapun. Tetapi, bukan tidak mungkin, suatu saat justru aku yang dikendalikan olehnya.
Aku duduk disamping tempat tidur dan mulai meresapi setiap lantunan ayat al-quran. Aku dengan sangat kuat mengontrol pikiranku yang tampaknya mulai kacau. Aku seperti berada diawang-awang. Pengelihatanku mulai buram. Sang nenek seakan sedang meronta-ronta dan memintaku menghentikan setiap bacaan yang keluar dari mulut mamaku. Tetapi, aku tidak boleh tergoda. Aku harus tetap mendengarkan ini. Sampai ia yang mengalah dan pergi.

Tetapi sayang pertahananku tak sekuat itu. Tubuhku dikendalikan olehnya. Ia menerobos kesadaranku. Ini adalah kali pertama aku sadar, aku sudah kerasukan. Melalui badanku, ia mengekspresikan segalanya.

Dia menangis, dan terus mengoceh dengan bahasa china yang tidak aku mengerti. Dari nada bicaranya, dia menghardik mamaku. Bahkan ia mulai beraksi seakan sedang melakukan kungfu. Aku tidak paham, badanku akan menjadi seperti apa. Aku hanya bisa pasrah. Aku ada disana, merasakan apa yang terjadi. Dia terus memarahi orang-orang yang ada dirumah. Dia kini mulai menampilkan aksinya yang tidak terduga. Bernyanyi seriosa, hmm aku bahkan tidak bisa melakukan itu. Aku tidak habis pikir.

Mamaku mulai kewalahan melihat aku yang bertingkah aneh. Aku yang awalnya masih bisa tersadar saat aku dia mulai mengendalikan diriku dan menangis. Kali ini tindakan anehnya semakin menjadi-jadi.  

“Kamu siapa?” Tanya mamaku padanya.
“Hahahaha, kamu jangan banyak bicara.” Katanya dengan bahasa Indonesia yang kaku.
“Untuk apa kamu ngikutin anak saya?” Tanya mamaku membentak.
“Kamu tidak perlu tau.” Katanya dengan nada menantang.

Mama semakin kencang melantunkan ayat-ayat al-quran. Membuat dia tidak berhenti menyanyikan lagu-lagu yang tidak pernah kami dengar sebelumnya. Kami semua mulai kewalahan dengan tingkahnya. Apalagi tubuhku, sudah dua jam tidak berhenti meronta-ronta, berteriak, menangis, melakukan aksi-aksi seperti kung-fu. Hal itu sungguh melelahkan.

“mah, Aku capek.” Kataku sambil menyeka air mataku

Saat itu aku bisa sadar dengan sendirinya. Aku sesungguhnya masih bisa mengendalikan diri jika aku ingin sadar. Tujuanku hanya untuk mengusir dia dari tubuhku. Tetapi tubuhku justru seperti habis digebukin satu kampung. Rasanya lelah sekali, dan sakit. Mungkin pilihanku malam itu sungguh membuatnya marah. Ia tidak berhenti mengganggu kesadaranku sejak itu. Dia dan diriku seperti berebut suatu kekuasaan untuk mengambil alih tubuh ini.

“Kenapa ini?” Tanya papaku pada mama. Papa baru saja mengunjungi kami dirumah. Tentu saja ia kaget mendengar keributan ini.
“Tolong panggilkan ustad saja untuk mengeluarkan dia. Siapapun pah, untuk membantu Sona.” Kata mama mulai panik.

Entah apa yang diperbuat orang ini, seperti dia bisa menaklukan kemarahan nenek tua ini. Aku hanya ingat dia memegang pergelangan tanganku dan menarik nenek yang bersemayam di tangan kiriku. Aku hanya menatapnya datar. Ia memberikan senyuman padaku. Aku sebenarnya tidak bersikap sinis, hanya kesadaranku sedikit belum pulih, dan aku juga masih bertanya-tanya bagaimana orang ini bisa membantuku dengan mudah.

Nenek tua ini sama sekali tidak berbahaya, dia hanya iseng mengikutiku.

“apa kamu pernah pergi ke hutan atau daerah yang banyak pohon-pohon rindangnya?” Tanya pria yang tidak terlalu tua ini dengan pakaian kaus berkerah warna merah. 

Aku mulai mengingat-ingat apa saja yang sudah aku lalui. Kemana saja aku pergi. Tetapi, aku rasa aku tidak pernah pergi ketempat yang seperti dikatakan pria ini. Atau si nenek hanya sedang menipunya dengan mengatakan hal itu padanya.  Dia sungguh makhluk yang penuh tipu daya. Atau sesungguhnya pria ini hanya mengarang saja.

Aku sebenarnya hanya teringat bagaimana dulu mama pernah memaksaku berobat pada seseorang yang aku tidak sukai. Ntah mengapa aku sangat membenci dia, padahal kami belum pernah bertemu. Jelas saja, aku benci, aku tidak suka hal-hal gaib bodoh. Aku tidak suka dia hanya ingin membodohi mamaku saja. Bodohnya mamaku yang mempercayai teman-temannya. Aku yang saat itu berusia  9 tahun hanya sakit biasa tetapi dikira hal-hal gaib. Aku selalu mengingat itu jika bertemu orang-orang yang menurutku punya mantra-mantra gaib dalam hidupnya.

“kamu melihat ada yang lewat tadi?” Tanya pria itu
“Hmm, Kok bapak tau?” Tanyaku bingung. Jelas saja, dia saja dari tadi menatapku sama sekali tidak menatap belakang. Sementara anak lelaki yang aku lihat, lewat di belakangnya.
“Hahaha, kamu sudah sering melihat mereka?” Tanya pria itu sambil terkekeh.

Aku hanya tersenyum dan menoleh ke arah jendela kamar. Mungkin ini mengagetkan, ia juga mengetahui wanita rambut panjang dan berjubah putih yang tengah memerhatikan kami semua diruangan itu.
“Anak ini sudah sering bersentuhan dengan dunia mereka, pak.” Katanya pada papaku.
“Tapi ini tidak masalah kan pak?” Kata papaku.
“Tidak masalah, dia bisa mengatasi sendiri kok. Ini akan menjadi hal yang spesial ketika ia menginjak usia 30 atau 40 tahun.” Kata pria itu sambil tersenyum pada papa dan aku.

Aku hanya terdiam. Aku kembali mengingat kejadian saat aku berusia 9 tahun. Apa mungkin orang ini juga mengada-ada saja seperti kenalan mamaku dulu. Ntahlah, aku hanya bisa bersyukur, badanku yang sepertinya remuk ini masih utuh. Aku bisa tertidur hari ini. Meskipun dengan mata bengkak karena menangis tidak karuan selama lima jam penuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar