Aku sedang berbaring diatas daun-daun pinus yang gugur.
Lihatlah betapa indahnya pohon-pohon pinus yang menutupi teriknya matahari
siang ini. Andai saja hutan pinus ini tak sejauh itu, mungkin ketika aku
disesakkan oleh urusan dunia yang berisik, aku bisa langsung bergegas kesana
untuk menikmati ketenangan dari kesunyian hutan tak berpenghuni tersebut.
Aku mengambil selembar daun kering yang berada disampingku,
mengacungkannya ke atas langit, dan melihat betapa indahnya pemandangan langit
yang terik samar-samar ditutupi oleh lebatnya daun pinus. Seorang pria
menyapaku, hingga membuatku menoleh.
“Mbak, ngapain disini?”
Ketika Mereka Menyapa
(Ilustration from Pinterest)
Aku memasuki sebuah rumah yang dipenuhi ornament kayu. Aku
merasa diluar cukup dingin, sehingga sang pemilik memiliki banyak koleksi
selimut tebal di dalam ruangan ini. Rumah ini tidak terlalu besar, terdapat
ruangan tengah yang dikelilingi oleh pintu-pintu yang aku pikir itu pasti
kamar-kamar dari penghuni rumah tersebut. Srekkk… suara pintu dorong yang
terbuka dari salah satu pintu. Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara.
“Selamat datang dirumah kami.” Ucap seorang pria tua yang
muncul dari pintu kayu yang baru saja ia buka. Dibelakangnya menyusul seorang
wanita tua yang juga melebarkan senyuman terbaiknya. Aku hanya termenung heran,
aku tersadar kenapa aku bisa berada disini.
Aku hanya termenung sambil menatap mereka berdua secara
bergantian. Sampai sang wanita terlebih dahulu menghampiriku, dan meraih kedua
tanganku.
“Kamu mau kan tinggal bersama kami disini?” Tanya wanita itu yang
kini mengusap pungguku dengan lembut.
“Kami memiliki banyak selimut yang bisa kamu pakai.” Sang
pria tua menyahut sambil membuka lemari-lemari yang aku pikir adalah pintu
kamar, lemari yang dipenuhi oleh selimut tebal.
Aku kembali menatap mereka secara bergantian, lalu beranjak
dan menyusuri lemari-lemari yang terbuat dari kayu berwarna coklat muda, yang
sepertinya umur lemari ini sangat tua. Memang benar, begitu banyak selimut
tebal didalam lemari tersebut. Tetapi, aku sadar ini hanya mimpi.
“Tidak, Aku tidak bisa tinggal disini, aku harus pulang.”
Kataku, sambil menatap sang wanita tua yang sedari tadi berdiri memperhatikan
langkahku.
Nafasku sesak sekali, aku tidak dapat lari dari mimpi buruk
seperti labirin yang menjebakku. Mungkin ini bukan kali pertamaku merasakan
sesak setelah mereka menghampiriku melalui mimpi. Bahkan, kali ini terasa
sangat menyakitkan, pria tua dan istrinya itu berada didepan tempat tidurku.
Aku bagaikan baru saja melarikan diri dari mimpi buruk
tetapi harus menghadapi kenyataan yang juga menakutkan. Pria tua itu memegang
kedua kakiku, dan menariknya, seakan ingin membawaku kembali kerumah mereka.
Tatapan wanita tua itu tidak kalah menyeramkan. Ia yang didalam mimpiku
sepertinya ramah, dengan keahlian marketing mereka merayuku untuk bisa tinggal
disana dan menemani mereka. Tetapi, kini mereka seakan menunjukkan sisi
menyeramkan mereka yang memelototi aku.
Aku mencoba melawan dengan menggerakan kakiku yang
sepertinya hampir patah. Badanku masih terasa kaku. Bahkan aku tidak bisa
mengeluarkan suara. Aku hanya terus melotot menatapi mereka yang tak kalah
menyeramkan. Sambil meraih badan mamaku yang tepat disebelahku. Tapi dia sedang
tertidur sangat lelap.
“Astagfirullahalazim.” Kataku dengan nafas yang
tersenggal-senggal.
Mama tiba-tiba saja terbangun, karena mendengar aku
beristigfar cukup keras ditelinganya. “Kenapa?” Kata mama yang langsung
membalikkan badan.
“Mah, ada setan, nenek-nenek dan kakek-kakek, kaki aku sampe
keram karena ditarik.” Kataku yang mulai berkaca-kaca.
Aku selalu sedih ketika mereka mengganggu aku. Aku pikir,
kenapa aku bisa memiliki takdir seburuk ini. Kenapa mereka harus mengganggu
aku, bukan oranglain. Bahkan, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak sudah hampir
dua tahun. Aku bahkan tidak bisa bercerita pada siapapun mengapa aku sering
tertidur dikelas. Aku bahkan tidak pernah memperdulikan mereka yang ingin
mengajakku berteman. Seharusnya mereka sudah paham, bahwa aku sangat muak
dengan sikap mereka yang kurang ajar mendatangiku saat aku ingin tidur.
Pohon Pinus?
(Ilustration from Pinterest)
Ketika bapak-bapak sang pemanen getah pinus memanggilku, aku
hanya teringat pada mereka yang selalu mencoba menyapaku. Mungkin ini terasa
tidak normal. Bahkan sampai saat ini aku merasakan itu. Hutan ini bukan hutan
biasa. Tetapi, aku tetap harus menjadi normal. Tidak memperdulikan mereka yang
sebenarnya tidak pernah terlihat, kecuali oleh orang-orang malang sepertiku.
“Mah, Aku capek, tiap malam diganggu sama mereka.” Kataku
pada mama yang sedang membaca buku mengenai kematian Adolf Hitler.
“Kamu mau gimana?” Tanya mama, yang mulai meladeni omonganku
dan menutup buku novel tebal tersebut.
“Aku mau di rukiyah.” Kataku.
“Siapa yang bisa merukiyah?” Tanya mama.
“Aku rasa mama bisa. Bukannya kita hanya perlu membacakan
ayat-ayat al-quran?” Kataku pada mama.
“Kapan?” Tanya mama padaku.
“Sekarang saja.” Kataku dengan nada sangat bersemangat.
Aku paham betul si nenek tua yang mengikuti saat itu
mengetahui rencana ku untuk mengusirnya. Tetapi ia tidak bisa menghentikan
langkahku. Karena pikirku, aku bisa melihat semua ini, bisikan ini, karena ia
terus mengikuti keseharianku. Mungkin ia memang follower sejatiku melebihi
apapun. Tetapi, bukan tidak mungkin, suatu saat justru aku yang dikendalikan
olehnya.
Aku duduk disamping tempat tidur dan mulai meresapi setiap
lantunan ayat al-quran. Aku dengan sangat kuat mengontrol pikiranku yang
tampaknya mulai kacau. Aku seperti berada diawang-awang. Pengelihatanku mulai
buram. Sang nenek seakan sedang meronta-ronta dan memintaku menghentikan setiap
bacaan yang keluar dari mulut mamaku. Tetapi, aku tidak boleh tergoda. Aku
harus tetap mendengarkan ini. Sampai ia yang mengalah dan pergi.
Tetapi sayang pertahananku tak sekuat itu. Tubuhku
dikendalikan olehnya. Ia menerobos kesadaranku. Ini adalah kali pertama aku
sadar, aku sudah kerasukan. Melalui badanku, ia mengekspresikan segalanya.
Dia menangis, dan terus mengoceh dengan bahasa china yang
tidak aku mengerti. Dari nada bicaranya, dia menghardik mamaku. Bahkan ia mulai
beraksi seakan sedang melakukan kungfu. Aku tidak paham, badanku akan menjadi
seperti apa. Aku hanya bisa pasrah. Aku ada disana, merasakan apa yang terjadi.
Dia terus memarahi orang-orang yang ada dirumah. Dia kini mulai menampilkan
aksinya yang tidak terduga. Bernyanyi seriosa, hmm aku bahkan tidak bisa
melakukan itu. Aku tidak habis pikir.
Mamaku mulai kewalahan melihat aku yang bertingkah aneh. Aku
yang awalnya masih bisa tersadar saat aku dia mulai mengendalikan diriku dan
menangis. Kali ini tindakan anehnya semakin menjadi-jadi.
“Kamu siapa?” Tanya mamaku padanya.
“Hahahaha, kamu jangan banyak bicara.” Katanya dengan bahasa
Indonesia yang kaku.
“Untuk apa kamu ngikutin anak saya?” Tanya mamaku membentak.
“Kamu tidak perlu tau.” Katanya dengan nada menantang.
Mama semakin kencang melantunkan ayat-ayat al-quran. Membuat
dia tidak berhenti menyanyikan lagu-lagu yang tidak pernah kami dengar
sebelumnya. Kami semua mulai kewalahan dengan tingkahnya. Apalagi tubuhku,
sudah dua jam tidak berhenti meronta-ronta, berteriak, menangis, melakukan
aksi-aksi seperti kung-fu. Hal itu sungguh melelahkan.
“mah, Aku capek.” Kataku sambil menyeka air mataku
Saat itu aku bisa sadar dengan sendirinya. Aku sesungguhnya
masih bisa mengendalikan diri jika aku ingin sadar. Tujuanku hanya untuk
mengusir dia dari tubuhku. Tetapi tubuhku justru seperti habis digebukin satu
kampung. Rasanya lelah sekali, dan sakit. Mungkin pilihanku malam itu sungguh
membuatnya marah. Ia tidak berhenti mengganggu kesadaranku sejak itu. Dia dan
diriku seperti berebut suatu kekuasaan untuk mengambil alih tubuh ini.
“Kenapa ini?” Tanya papaku pada mama. Papa baru saja
mengunjungi kami dirumah. Tentu saja ia kaget mendengar keributan ini.
“Tolong panggilkan ustad saja untuk mengeluarkan dia.
Siapapun pah, untuk membantu Sona.” Kata mama mulai panik.
Entah apa yang diperbuat orang ini, seperti dia bisa
menaklukan kemarahan nenek tua ini. Aku hanya ingat dia memegang pergelangan
tanganku dan menarik nenek yang bersemayam di tangan kiriku. Aku hanya
menatapnya datar. Ia memberikan senyuman padaku. Aku sebenarnya tidak bersikap
sinis, hanya kesadaranku sedikit belum pulih, dan aku juga masih bertanya-tanya
bagaimana orang ini bisa membantuku dengan mudah.
Nenek tua ini sama sekali tidak berbahaya, dia hanya iseng
mengikutiku.
“apa kamu pernah pergi ke hutan atau daerah yang banyak
pohon-pohon rindangnya?” Tanya pria yang tidak terlalu tua ini dengan pakaian
kaus berkerah warna merah.
Aku mulai mengingat-ingat apa saja yang sudah aku lalui.
Kemana saja aku pergi. Tetapi, aku rasa aku tidak pernah pergi ketempat yang
seperti dikatakan pria ini. Atau si nenek hanya sedang menipunya dengan
mengatakan hal itu padanya. Dia sungguh
makhluk yang penuh tipu daya. Atau sesungguhnya pria ini hanya mengarang saja.
Aku sebenarnya hanya teringat bagaimana dulu mama pernah
memaksaku berobat pada seseorang yang aku tidak sukai. Ntah mengapa aku sangat
membenci dia, padahal kami belum pernah bertemu. Jelas saja, aku benci, aku
tidak suka hal-hal gaib bodoh. Aku tidak suka dia hanya ingin membodohi mamaku saja.
Bodohnya mamaku yang mempercayai teman-temannya. Aku yang saat itu berusia 9 tahun hanya sakit biasa tetapi dikira
hal-hal gaib. Aku selalu mengingat itu jika bertemu orang-orang yang menurutku
punya mantra-mantra gaib dalam hidupnya.
“kamu melihat ada yang lewat tadi?” Tanya pria itu
“Hmm, Kok bapak tau?” Tanyaku bingung. Jelas saja, dia saja
dari tadi menatapku sama sekali tidak menatap belakang. Sementara anak lelaki
yang aku lihat, lewat di belakangnya.
“Hahaha, kamu sudah sering melihat mereka?” Tanya pria itu
sambil terkekeh.
Aku hanya tersenyum dan menoleh ke arah jendela kamar.
Mungkin ini mengagetkan, ia juga mengetahui wanita rambut panjang dan berjubah
putih yang tengah memerhatikan kami semua diruangan itu.
“Anak ini sudah sering bersentuhan dengan dunia mereka,
pak.” Katanya pada papaku.
“Tapi ini tidak masalah kan pak?” Kata papaku.
“Tidak masalah, dia bisa mengatasi sendiri kok. Ini akan
menjadi hal yang spesial ketika ia menginjak usia 30 atau 40 tahun.” Kata pria
itu sambil tersenyum pada papa dan aku.
Aku hanya terdiam. Aku kembali mengingat kejadian saat aku
berusia 9 tahun. Apa mungkin orang ini juga mengada-ada saja seperti kenalan
mamaku dulu. Ntahlah, aku hanya bisa bersyukur, badanku yang sepertinya remuk
ini masih utuh. Aku bisa tertidur hari ini. Meskipun dengan mata bengkak karena
menangis tidak karuan selama lima jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar