Masa remajaku tidaklah membosankan, meskipun kerap diselimuti dengan kegalauan, aku tetap bertahan untuk tidak larut dalam kesedihan. Saat menduduki bangku SMA, aku lebih senang menghabiskan waktu bersama kedua sahabat-ku untuk menghalau perasaan bimbang akan percintaan yang kandas. Maklumlah saat itu pacar pertamaku sulit aku lupakan. Padahal seingatku tidak ada kenangan yang dapat kuingat kecuali bagaimana ngototnya dia untuk diterima menjadi pacarku.Tetapi bukan mantanku itu yang paling aku ingat saat ini, melainkan seorang teman, atau sahabat, aku juga canggung menyebutnya demikian. Karena seingatku, aku selalu menolak kehadirannya yang tidak membuatku nyaman, namun selalu hadir disaat yang tepat.
Tidak terasa sudah setengah tahun aku menduduki bangku SMA, bahkan aku hadir menjadi orang yang berbeda. Ya jelas saja, aku mulai membuka diri untuk mengobrol pada orang-orang baru, mulai beradaptasi menghindari wajah galak yang kata orang cukup menyeramkan. Bahkan, kebiasaan menyendiri mulai aku tinggalkan. Buatku ini jauh lebih menyenangkan ketimbang, saat aku membatasi diri.
Mungkin alasanku membatasi diri sangat sederhana, aku kurang cocok dengan beberapa pergaulan yang aku anggap tidak penting dan berlebihan. Aku lebih senang, hal konyol, dan situasi damai. Karena sesungguhnya, hidupku sudah dipenuhi konflik yang tidak bisa aku selesaikan.
Seperti biasa aku berangkat sekolah diantar oleh papaku. Menurutku pergi kesekolah adalah momen pertemuan aku dan papah. Karena ia tidak pernah pulang kerumah. Sebelum mengantarku kesekolah, kami mengantar adikku terlebih dahulu. Meskipun ia bersekolah tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi ia sangat manja dan tidak ingin olahraga.
Hari ini adalah ujian tengah semester dihari pertama. Kebiasaan sekolahku adalah mencampur murid kelas sepuluh dan murid kelas sebelas untuk duduk dibangku yang sama. Mungkin, agar tidak terjadi kecurangan. Bahkan aku tidak ujian dikelas biasanya aku belajar.
Sebelum ujian dimulai, aku masuk keruang ujianku yang terletak di kelas 10 A untuk mengecek dimana aku duduk. Ternyata kelas 10 A cukup jelek. Menurutku kelasnya begitu gelap, meskipun ada enam jendela terbuka disana. Disudut kelas bagian belakang terdapat lemari yang digunakan murid untuk menaruh helm.
Ujian akan dimulai, ternyata tak seorangpun duduk di sebelahku. Meskipun aku duduk dibagian agak tengah, tetapi sepertinya aku murid yang nomor absennya paling terakhir. Pengawas mulai membagikan kertas soal beserta kertas jawaban. Tak lupa aku meruncingkan pensil dengan penyerut. Tetapi ada satu hal yang mengalihkan perhatianku. Bukan aba-aba penting yang biasa pengawas ujian berikan, tetapi suatu hal yang tidak biasa.
Aku beridam diri, badanku terasa tidak enak. Menurutku saat itu ruangan terasa sangat dingin, seperti ada angin yang bertiup cukup besar. Tetapi, disaat bersamaan aku juga merasakan kegerahan. Aku mulai berkeringat. Aku melihat kipas angina yang berada diatas cukup jauh jika memang anginnya yang bertiup cukup kencang. Pengelihatanku sejenak tak terkontrol, dan semakin buram. Aku pikir, aku akan segera pingsan. Tapi ternyata perkiraanku salah. Mungkin ini terjadi dalam hitungan detik saja. Namun ini benar-benar membuatku tidak nyaman. Seseorang baru saja duduk dibangku sebelah kiri ku. Dia seorang pria dengan wajah pucat, berbadan cukup tinggi, berkemeja putih, dan bercelana hitam. Aku menolehkan pandanganku ke arahnya, dan dia tersenyum. Aku mencoba untuk tenang karena aku tau, dia bukan manusia sepertiku.
Aku benci saat-saat itu, seharusnya dia tidak muncul disaat seperti ini. Aku ingin mengerjakan soal ujianku dengan baik. Selayaknya orang biasa, aku hanya bisa terdiam dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa aku tidak menyadari kehadirannya sama sekali. Hanya dengan cara demikianlah aku dapat menghindar dalam setiap pertemuanku dengan bangsa sejenis mereka. Aku paham betul, aku terlihat aneh saat merasakan itu semua. Aku ingin menjadi orang normal. Sehingga aku selalu mengabaikan kehadiran mereka disekitarku.
Aku palingkan wajahku dari dirinya. Aku tak menghiraukan kehadirannya. Aku mengerjakan ujianku dengan cukup baik, tidak sia-sia aku belajar sampai malam. Dia akhirnya pergi dengan sendirinya. Selalu berakhir demikian. Meskipun, terkadang beberapa ada yang melakukan hal ekstrim hanya karena ingin menarik perhatianku. Aku masih belum paham apa yang mereka cari dari respon manusia yang meladeni mereka. Bahkan aku tidak pernah ingin memahaminya.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku mampir kewarung koko untuk membeli kopi sachet dan roti kelapa. Kopi dan roti adalah cemilan siang hariku sebelum aku mematikan lampu kamar dan mendengarkan lagu menggunakan headshet dengan volume keras. Rasanya kurang lengkap jika aku tidak mematikan lampu kamar. Buatku, hal tersebut merupakan ritual nostalgia. Mengikuti rasa galauku yang belum bisa melupakan mantan pertamaku.
Kamar yang gelap dengan musik mellow dari penyanyi bunga citra lestari berjudul ‘tentang kamu’ merupakan perpaduan menusuk perasaan. Begitulah abg galau yang menikmati masa muda dengan sudut-sudut kamar yang gelap. Tak seperti biasanya, perasaan berbeda mulai menyergap diriku. Aku mematikan musik sejenak, karena menurutku ada hal aneh. Apa ada sesuatu yang tidak aku dengar. Begitu pikiranku, aku seperti sedang melakukan adengan difilm horror yang cukup menegangkan. Meskipun dalam suasana gelap, aku tak melihat apapun kecuali cahaya notebook ku yang menyilaukan. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menuju tombol lampu yang berada didekat lemari. Bagaimana mungkin aku bisa setakut ini. Padahal aku sedang asyik menikmati lagu galau,dan mengingat kenangan bodohku bersama mantan. Aku memang terkadang sangat penakut.
Aku mengecek timeline twitter. Aku senang sekali bermain twitter, meskipun masih jarang teman-temanku bermain social media tersebut. Bahkan handphoneku tak terlalu canggih saat itu, karena handphone baruku justru lebih dulu rusak dibandingkan handphone jadul ini. Aku teringat pada kopi yang belum sempat aku minum. Aku kembali menyetel musik mellow lainnya, sambil menikmati roti dan kopi yang sudah aku beli di warung koko.
“Kok kamu galau terus deh ? kamu jangan galau terus.” ungkap seorang pria.
Suara musik tetap mengalun, aku hanya mematung sesaat sebelum amunisiku mendorong badanku untuk melesat ke arah pintu. Dengan secepat kilat aku berlari untuk menuju ruang tengah mencari titik keramaian dirumahku. Mama yang tengah asyik membaca buku tak menghiraukan kehadiranku yang tiba-tiba. Disana ada kakakku yang sedang menonton tv. Aku seperti habis berlari marathon. Padahal jarak kamarku keruang tengah hanya beberapa meter.
“Ada yang ng…ngomong dikamar.” Kataku sambil menghela nafas. Kakakku hanya tertawa. Mamaku mulai teralihkan oleh kata-kataku barusan. Buat mereka hal horror yang aku alami begitu beragam, sehingga kejadian ini tak terlalu mengagetkan, bahkan biasa saja. “siapa?” Tanya mama. “ga tau mah, tapi suara cowok.” Jawabku sambil duduk mendekati mereka. “udah baca ayat kursi aja.” Jawab mama santai, lalu kembali membaca buku.
Aku memang bukan anak yang manja dibandingkan adik dan kakakku. Namun sikap cuek mama terkadang menyurutkan semangatku. Entahlah semangat semacam apa yang aku maksud. Tetapi dari mama aku menjadi anak yang jarang menjadi antusias terhadap segala hal. Kecuali hal yang menakutkan yang selalu membuatku heboh. Pernah disuatu malam aku didatangi oleh sosok berbulu yang memegang tanganku. Aku ketakutan, dan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Aku memanggil-manggil mama. Tetapi, karena ia sangat mengantuk, ia malas meladeniku, dan menyuruhku berdoa saja lalu kembali tidur. Sementara itu sosok berbulu itu masih ada di kamarku. Aku sangat ketakutan dan sendirian. Tetapi hal itu pula yang melatihku untuk melawan rasa takut.
Tak ada hal yang mengasyikan diruang tengah. Tayangan favoritku juga tidak ada. Aku kembali kekamar. Tetapi, aku tidak bisa lama berada disana. Tercium bau tidak sedap yang membuat aku tidak bisa bernafas dengan baik. Aku mulai mencari sesuatu yang aku pikir dapat menjadi sumber bau. Semuanya tidak ada. Kamarku dalam keadaan bersih.
“ada bangkai tikus kali.” Ungkap mama. “ih, ga ada mah, orang udah ngecek kolong tempat tidur. Belakang lemari, kolong meja tv.” Kataku meyakinkan. “terus apan dong?” sambung kakaku. “pasti ada yang ga beres nih.” Ungkap mama serius.
Aku mulai teringat dengan pria yang mengomentari kegalauanku. Ya, dia mungkin masih berada dikamarku. Tetapi aku tidak dapat melihat wujudnya. Dia adalah pria yang juga aku temui disekolahku sebelum ujian dua hari yang lalu. Berarti sudah hampir tiga hari dia mengikuti ku. Cobaan apalagi yang aku terima saat ini. Apakah ini juga bau yang berasal darinya. Tanpa sadar pikiranku ini dibaca olehnya. Mereka memang dapat membaca pikiran kita. Dia mulai muncul dengan wajah sedih dan berat hati aku melihat beberapa luka gores dikening dan lengan bajunya yang robek. Aku melihat itu seperti luka yang cukup serius. Aku tak sanggup untuk terus menelusuri jejaknya lebih jauh. Aku hanya bingung, apakah ini ungkapan rasa sedih. Kenapa berbau aneh seperti ini.
Mamaku mulai mengambil yasin, lalu membacakannya dengan lantang. Entah mengapa aku semakin dibayangi oleh wajah sedihnya. Aku merasa ia hanya ingin membagi suatu hal padaku. Aku merasa ia tidak jahat, bahkan ia cukup tampan. Aku tapi tak memiliki pilihan selain menjauh darinya. Karena tidak ada pertemanan antara jin dan manusia.
Sona, aku tau kamu tidak ingin tau siapa namaku. Aku tau kamu bisa melihat aku saat dikelas. Aku sangat senang setelah sekian lama akhirnya aku merasakan kembali bagaimana dianggap ada oleh murid disekolah ini. Lalu aku tak perlu banyak bercerita. Karena aku tidak akan memaksakan dirimu untuk mendengarkan aku. Tetapi, jangan terlalu sering memusingkan laki-laki. – anonym 2012
Aku tidak terlalu paham apa definisi normal. Sehingga sampai saat ini aku masih merasa tidak normal. Meskipun pria yang tempo hari menginap dikamarku selama tiga hari sudah pergi. Kamarku tidak pernah sepi disinggahi berbagai macam tamu. Tamu yang selalu mengagetkan aku dipagi hari adalah wanita berjubah putih yang kerap duduk di meja kecil disudut kamarku. Terkadang dia juga muncul di pintu kamarku ketika aku membuka mata. Mungkin dengan cara itu aku bisa bangun pagi. Karena ketakutan dan segera berhambur keluar kamar.
Hal-hal absurb juga sering aku rasakan ketika banyak sekali orang-orang yang bergelantung diatas pohon yang rantingnya sudah tak dipenuhi daun. Aku paham betul mereka bukan orang biasa. Tetapi rasanya bibirku gatal untuk membagi cerita tersebut kepada papa jika melewati gang masuk jalan kerumahku. Papa bukan orang yang perduli terhadap hal gaib, dia tidak memperdulikan cerita-cerita horror yang aku alami dirumah. Padahal aku bercerita agar ia cepat mencari solusi menghilangkan kebiasaan diriku melihat makhluk halus. Kalau aku mulai bercerita tentang pengalaman malam hari yang membuatku terjaga dikala malam, atau sekedar kebangun saja, papa hanya meresponnya dengan lelucon.
“Bilang aja sama mereka, Jangan ganggu gua! Ganggu aja bapak gua tuh kalau berani! Hahaha.” ujar papa sambil tertawa lepas. Aku pun hanya tertawa mendengar respon papa tersebut.
Kesurupan massal jilid II
Semasaku bersekolah sempat terjadi beberapa kejadian mengerikan. Orang-orang berteriak, tubuh mereka tak terkendali. Ada yang tertawa, menangis histeris, mengumpat, bahkan menendang orang-orang sekitarnya. Mereka seakan sedang mengamuk. Ada kemarahan besar disana. Rumor beredar sangat beragam. Tetapi aku tak begitu yakin jika penyebabnya hal yang biasa. Beberapa temanku mulai kesal dengan seseorang yang ia anggap sebagai penyebab kekacauan ini. Tetapi buatku, rumor tersebut bukan alasan mereka marah.
Aku coba membentengi diri, meskipun aku merasa cukup sesak, entah karena ketakutan atau karena kehadiran mereka yang mulai menembus kesadaran manusia yang berada disana. Tidak ada yang menjamin aku bisa tetap bertahan dalam kesadaran. Apalagi aku sering bersentuhan dengan mereka yang tidak terlihat. Aku terus membacakan ayat-ayat pendek yang aku hafal didalam pikiran. Karena dengan demikian mereka tidak bisa mengendalikan pikiranku.
Mungkin setahun yang lalu aku benar. Rumor yang disebutkan temanku memang salah. Penyebab itu semua bukan hal yang biasa. Tetapi ada kemarahan disana. Tepat dibelakang kelasku, berdiri sebuah pohon yang cukup besar. Terdapat akar gantung dan berdaun amat lebat. Menurut teman baruku, ia senang melihat keadaan pohon yang seperti itu. Wajar saja jika pohon tersebut dihuni bangsa-bangsa wanita berpakaian sopan tersebut.
Aku mencium aroma bunga yang amat kuat. Aku sempat berbicara oleh orang sekitar. Menanyakan bau parfum mereka. Tetapi mereka semua tidak mungkin menggunakan aroma bunga kuburan seperti itu. Angin bertiup sangat kencang, aku pikir itu akan turun hujan. Tetapi ternyata tidak. Hanya mendung yang tidak berujung. Beberapa temanku sudah mendapat sinyal aneh. Diantara mereka sudah mulai merasa takut.
“Son, aku sebel nih sama dia, masa dia bilang muka aku serem.” Ungkap cindy kesal. “hah serem gimana?” Tanyaku bingung. “masa dia bilang gini, jangan deket-deket aku ya, aku ga bisa lihat muka kamu.” Kata temanku dengan nada marah. “Hahaha ada-ada aja, aneh.” Jawabku sambil terkekeh.
Aku tidak memperdulikan anak itu, karena dia memang suka berucap hal-hal mistis yang menurutku membuat orang sekitar takut. Sehingga ketika temanku bercerita demikian aku sudah tidak heran. Apalagi disaaat seperti ini. Bukan waktu yang tepat untuk menebar ketakutan. Beberapa saat kemudian angin kencang seolah menghantarkan suara teriakan kesetiap sudut kelas. Satu persatu teman-temanku terjatuh dan mulai tidak terkendali. Hal ini mengingatkanku kejadian setahun yang lalu. Aku hanya terdiam sambil mengingat aroma bunga kuburan beberapa jam lalu.
Guru kimia ku tetap melanjutkan pelajaran. Anak-anak terlihat was-was. Apalagi semakin banyak anak perempuan yang kerasukan. Suara mereka seperti bersahut-sahutan. Teman-temanku beberapa ada yang memutuskan pulang. Sehingga beberapa bangku kosong. Sehingga aku duduk dibangku bagian depan. Meskipun dikelasku ada yang kerasukan juga, aku tidak terlalu ambil pusing. Aku justru mulai tersulut emosi karena mereka cukup mengganggu. Aku hanya kasihan pada teman-temanku yang terlihat jelek berteriak-teriak tidak karuan.
Aku melihat dua wanita terus memandangi orang-orang yang tengah duduk dikelas. Mereka berdiri dengan tatapan marah. Entahlah apa yang mereka cari. Tidak lama kemudian temanku berteriak dan ia mulai kerasukan. Hmm, aku mulai bingung dengan si guru kimia yang tidak juga membubarkan kelas. Karena keadaan yang tidak memungkinkan, akhirnya pak guru menyerah dan memutuskan pulang.
Aku cukup senang karena pulang cepat. Tetapi ini kali pertama aku melihat sosok wanita galak yang penuh amarah tersebut. Aku mulai memikirkan rumor mengenai rumah mereka yang dikencingi. Aku tidak habis pikir pada mereka yang berlaku demikian hanya karena ingin cepat dipulangkan. Sangat bodoh dan tidak sopan. Aku juga mengerti kenapa wanita ini begitu marah, bau kencing mereka sangat menjijikkan.
Aku melihat beberapa anak laki-laki berkumpul disamping kelasku. Mereka adalah kakak kelasku. Aku juga tidak mengenal mereka. Tetapi mereka membawa botol berukuran 100ml yang berisi air berwarna kuning. Aku terkaget, dan menduga itu adalah air kencing mereka. Benar saja, mereka mulai menyirami pohon besar itu dengan air tersebut. Menjijikkan sekali. Aku muak melihat itu semua, tetapi aku tidak dapat berlaku apapun. Cukup aneh rasanya jika menyampaikan kemarahan dua wanita tempo lalu. Mereka juga sangat ingin sang penghuni pohon marah besar.
Beberapa saat kemudia terjadi angina kencang, aku teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Kali ini aku terus mengatakan pada mereka untuk tidak marah dan meminta maaf. Mungkin terdengar konyol, tetapi aku terus mengatakan itu didalam hati, karena aku yakin mereka bisa mendengarnya. Pria bekemeja putih yang melarangku galau juga sempat memberitahuku untuk tidak panik seperti yang lain, karena sepertinya mereka tidak akan marah seperti tempo hari. Aku cukup lega. Meskipun aku masih saja sinis dengan sapaannya. Bagiku, dia hanya orang asing yang sebaiknya tidak usah muncul kembali di hadapanku.
Aku memikirkan kemunculannya yang tanpa sengaja, meskipun aku tidak bertemu secara langsung. Ia beberapa kali muncul dipikiranku seperti berbicara melalu televati. Aku hampir saja merasa seperti orang gila. Aku sempat berfikir apa tidak sebaiknya aku dan dia berteman saja selayaknya orang biasa. Karena ia cukup baik. Tetapi skeptisnya aku tidak dapat mengalahkan apapun saat itu. Aku tak ingin dianggap berteman dengan bangsa mereka. Bahkan ketika diam-diam aku kepikiran dengan dirinya.
Aku sudah move on dari mantan pertamaku, mungkin itu juga yang membuat ia tidak pernah muncul tiba-tiba menyela kegalauanku. Tetapi kisah cinta aku cukup tragis. Aku selalu saja merasa kecewa dan galau tidak karuan. Seperti move on pada orang yang salah. Kemudian, kembali dia datang dan mengatakan hal-hal aneh. Sampai aku mengancam dirinya, meskipun aku belum tau apa tindakanku jika ia mulai ikut campur dengan masalah ini. Ada benarnya kemarahannya, beberapa kali ia melarangku untuk galau, dia cukup kesal dengan pria ini, tetapi sepertinya ia selalu tidak setuju dengan semua orang yang mendekati aku saat itu. Menurutnya, perlakuan si x sudah keterlaluan padaku. Meskipun saat itu aku merasa masih biasa saja. Memang biasa saja, hanya aku saja yang berlebihan meluapkan kesedihan.
Aku selalu berfikir seandainya dia adalah manusia, mungkin aku mau berteman dengannya. Bahkan bisa jadi aku suka padanya. Karena kebaikan, dan ketampanannya, hehehe. Tetapi, aku tidak bisa meneruskan perasaanku untuk berteman dengannya. Aku harus mengabaikan kebaikan tersebut karena itu semua sangat mustahil. Aku hanya ingin menjadi normal. Melihat mereka saja sudah sangat mengganggu ku. Apalagi harus berteman dan mendengar suara-suara mereka.
Pertemuan Terakhir
Tidak salah lagi, dia selalu datang disaat yang tepat. Aku lelah sekali, sudah hampr tiga kali mereka menerobos masuk ketubuhku. Aku mulai paham bagaimana rasanya saat diri tidak dapat mengendalikan tubuh sendiri. Aku terus mengoceh tidak jelas. Sosok lain masuk mulai berteriak-teriak. Sepertinya tubuhku seperti digebukin banyak orang. Rasanya lelah sekali. Tetapi aku tidak bisa menghindar dari tubrukan wujud mereka.
Aku melihat ia berdiri, seperti biasa wajah pucatnya, kemeja putih, dan celana hitam gobrong. Dia memarahi sosok tua yang beberapa tahun belakangan mengikutiku. Dia mulai memarahi mereka yang mengganggu aku. Mungkin aku hanya terkesima melihat dirinya, meskipun tubuhku tetap dikendalikan oleh makhluk-makhluk jahil ini. Ternyata usirannya cukup ampuh. Aku tau betul kalau wanita tua ini tak sedikitpun takut padanya, tetapi kehadiran dia membuat wanita tua ini sedikit terdistrak, dan aku bisa berusaha kembali melawan. Setelah aku sadar, ia hanya tersenyum lalu pergi.
Aku belum sempat mengucapkan terimakasih. Mama dan kakakku masih ingat padanya. Bahkan bingung kenapa ia bisa tiba-tiba saja datang. Aku cukup gengsi mengucapkan terimakasih padanya. Meskipun, aku sangat ingin mengatakannya langsung. Aku yakin, dia tau aku sangat berterimakasih.
Bertahun-tahun berlalu sejak saat itu ia tidak pernah muncul dihadapanku maupun sekedar dipikiranku. Setiap aku mencoba berbicara padanya itu cukup sulit, karena kami sudah berbeda pulau. Sangat tidak mungkin ia bisa datang ketempat ku. Bahkan ketika kami disatu pulau yang sama aku sama sekali tidak kepikiran. Tetapi, beberapa waktu belakangan aku mulai teringat dirinya. Dia yang sebenarnya baik. Bahkan aku sangat ingin bilang padanya disini banyak sekali yang sering aku ajak ngobrol karena mereka memaksa. Sangat berbeda dengan dia yang tidak pernah memaksa diriku.
Pertahananku runtuh, aku tidak bisa menghindar dari suara-suara mereka, dari wujud menyedihkan mereka. Bahkan disaat aku menuliskan ini, aku sedang bersama mereka. Aku hanya mempertanyakan diriku, kenapa dulu aku seakan menolak takdirku, seolah aku terus tersiksa, harusnya aku bisa lebih santai saja menghadapi kalian.
Untuk temanku,
Kenapa ya aku tiba-tiba kepikiran kamu? Aneh banget, padahal udah tiga tahun terakhir tidak pernah keinget. Aku tapi tidak bakal lupa bagaimana cerita pertemuan kita sampai kejadian kamu menolong aku. Mungkin aku sedikit aneh yang mulai mencari tau sebenarnya kamu bagaimana, jalan hidup mu bagaimana, sampai namamu itu siapa? Aku tidak pernah ingin tau, tapi saat ini aku merasa sangat aneh, kamu yang baik tidak pernah aku coba ajak bicara. Justru mereka yang ngalur-ngidul iseng padaku selalu dengan terpaksa aku dengarkan. Aku tidak tahu, apakah kamu benar-benar ada disana. Aku bermimpi kalau kamu bermain bersama teman-teman abangku, bahkan dimimpi itu kamu menyebutkan namamu. Mungkin melalui mimpi itu kamu bercerita. Aku simpulkan kalau kamu seumuran dengan abangku. Tapi, kenapa aku bisa tidak ingat namamu siapa. Hehehe. Mungkin belum saatnya aku tau. Mungkin ini semua hanya rasa penasaranku akan kehadiran teman seperti dirimu. Tetapi, aku harap kamu tetap menjadi pribadi yang baik. Terimakasih telah membantu. Sekarang aku sudah tidak merana karena cinta. Teman baruku sangat ingin kenalan denganmu, karena kataku kamu cukup keren. -Sona, 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar